KILAS24.CO — Pengamat politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Dini Suryani, mendorong partai politik (parpol) agar tidak mengusung figur dari dinasti politik sebagai calon kepala daerah di Pilkada 2020. Ini sebagai upaya menghentikan praktik politik dinasti di Indonesia.
Dini berharap parpol menyadari bahwa politik dinasti yang terus menjamur menunjukkan mandeknya fungsi partai sebagai sarana rekrutmen politik yang objektif. Karena itu, Dini mengatakan parpol diharapkan mau menekan berkembangnya politik dinasti pada Pilkada 2020 yang sedang berlangsung tahapannya.
Dini khawatir praktik politik dinasti tidak dapat dicegah karena Pilkada 2020 yang dilaksanakan di tengah pandemi Covid-19. Pada Pilkada 2020, menurutnya, keputusan pemerintah melanjutkan tahapan pilkada saat wabah virus corona akan mempengaruhi partisipasi masyarakat.
Ia mengatakan, figur-figur yang terpilih nanti bisa jadi tidak menggambarkan pilihan masyarakat. Pada keadaan normal sekali pun, kondisi tersebut sudah terjadi.
Ia menuturkan, anggota keluarga dinasti yang telah memiliki modal finansial maupun popularitas dipandang oleh partai politik lebih potensial menang dalam pemilihan dibandingkan masyarakat biasa. Modal finansial yang kuat ini dapat memunculkan praktik politik uang.
Ia menambahkan penyebab politik dinasti adalah sikap permisif pemilih terhadap politik uang yang banyak dilakukan oleh para kandidat dari dinasti politik karena mereka mempunyai modal finansial yang kuat. Pusat Penelitian Politik LIPI melalukan survei pada 2019 lalu kepada masyarakat di 34 provinsi dan hasilnya 47 persen responden setuju terhadap praktik politik uang.
Di sisi lain, ia pesimistis parpol akan setuju dengan usulan ini karena lebih tertarik mencalonkan orang yang erat dengan politik kekerabatan atau politik dinasti. “Meskipun saya juga pesimis dengan usulan ini,” ujar Dini saat dihubungi Republika, Selasa (7/7).
Faktor lain yang memunculkan politik dinasti, yakni sistem pemilu yang sangat fokus pada personal dibandingkan program. Apalagi saat ini, Indonesia tidak memiliki regulasi yang kuat untuk mencegah praktik politik dinasti di daerah.
Dari sisi regulasi, larangan politik dinasti sempat dimuat dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pilkada. Namun, pada tahun yang sama, UU tersebut diuji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK) dan diputuskan batal secara hukum. MK mengabulkan gugatan tersebut karena pasal antipolitik dinasti berpotensi menghilangkan hak konstitusional warga negara untuk dipilih dalam politik. “Mahkamah Konstitusi menolak pasal antipolitik dinasti yang sebenarnya hal ini bisa menjadi penghalang untuk menjamurnya politik kekerabatan yang hari ini sangat subur,” kata Dini.
Diketahui, tahapan pilkada serentak tahun 2020 ditunda sejak Maret lalu karena pandemi Covid-19. Sehingga pemungutan suara di 270 daerah akan digelar pada 9 Desember 2020, yang bergeser dari jadwal semula 23 September. Tahapan pemilihan lanjutan mulai dilaksanakan pada 15 Juni 2020 dengan protokol kesehatan pencegahan penyebaran Covid-19.
Sumber: Republika.co.id