Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) di Indonesia bukan lagi merupakan sebuah fenomena, melainkan sudah merupakan fakta yang terkenal di mana-mana. Kini, setelah rezim otoriter Orde Baru tumbang, tampak jelas bahwa praktik KKN selama ini terbukti telah menjadi tradisi dan budaya yang keberadaannya meluas, berurat akar dan menggurita dalam masyarakat serta sistem birokrasi Indonesia, mulai dari pusat hingga lapisan kekuasaan yang paling bawah.
Saya dapat menyatakan bahkan mungkin sebagian dari teman-teman dapat membenarkannya, bahwa Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) akhir-akhir ini dianggap sebagai wujud paling buruk dan paling ganas dari gejala kemerosotan moral dari kehidupan masyarakat dan bernegara di negeri kita. KKN adalah produk dari relasi sosial-politik dan ekonomi yang pincang dan tidak manusiawi. Relasi yang dikembang- kan adalah relasi yang diskriminatif, alienatif, tidak terbuka, dan meleceh- kan kemanusiaan. Kekuasaan dianggap sebagai sebuah privilege bagi kelompok (kecil) tertentu, serta bersifat tertutup dan menempatkan semua bagian yang lain sebagai Objek yang tak punya akses untuk berpartisipasi. Setiap bentuk kekuasaan (baik politik, sosial, maupun ekonomi) yang tertutup akan menciptakan hukum-hukumnya sendiri demi melayani kepentingan penguasa yang eksklusif.
Ingat!! Kekuasaan yang tertutup semacam ini merupakan lahan subur yang bisa menghasilkan panen KKN yang benar-benar melimpah.
Berkaitan dengan kritik atas kebijakan yang dikeluarkan oleh Bupati Bolaang Mongondow Timur, Sam Sachrul Mamonto adalah bentuk langkah preventif untuk penanganan praktek Kolusi dan Nopotisme.
Atau saya lebih senang mengatakan bahwa ini adalah bentuk upaya sterilisasi praktek persekongkolan jahat rezim sebelumnya. Mengapa demikian? Polarisasi sebuah kebijakan harus berlandaskan pada aspek akuntabilitas atau melalui mekanisme yang transparan. Perekrutan THL tidak seharusnya dilandaskan pada faktor kedekatan, faktor clan apalagi karena faktor transaksi politik. Tetapi proses perumusan kebijakan berupa penentuan THL/Honda harus berlandaskan pada aspek profesionalitas, transparan dan tidak mengabaikan prinsip kepakaran.
Nah, kebijakan merumahkan adalah proses internalisasi pola dan proses rekrut agar lebih transparan dan profesional. Apa yang hendak ditransparansikan? Ada 2 hal:
1. Mengelola perekrutan THL/Honda berdasarkan kebutuhan SKPD yang tentu melalui hasil verifikasi tim melalui Instansi terkait. Setelah itu kemudian akan diumumkan secara terbuka kebutuhan yang dibutuhkan. Dalam proses inipun akan ada mekanisme tes jika kemudian peminatnya membludak. Hal semacam ini tentu akan menutup ruang gerak praktek-praktek yang tadi, yakni Korupsi, Kolusi dan Nepotisme.
2. Mekanisme baku ini akan menutup ruang-ruang transaksional yang selama ini klasik terjadi. Tujuan atau goals dari penutupan ruang transaksional ini adalah agar setiap THL yang diakomodir nanti benar-benar profesional dan sesuai pada lex spesialict! Yakni sesuai dengan prinsip good governance atau tata pengelolaan pemerintahan yang baik yaitu the right man and the raih jt place.
Dasar-dasar ini yang kemudian menjadi acuan bagi kepemimpinan saat ini di Boltim. Sehingga sedikit saya merespon bahwa membandingkan kepemimpinan yang sebelumnya dengan kepemimpinan Boltim pada saat ini sesungguhnya tidak aple to aple. Sebab SSM-Oskar baru 1 bulan efektif bekerja, sementara rezim sebelumnya 10 tahun membangun sebuah tatanan yang cenderung nepotisme. Maka hal ini tidak harus dilanjutkan! Justru harus diputuskan.
Penulis: Fiko Onga