KILAS24.CO, POLITIK – Sidang kedua sengketa Perselisihan Hasil Pemilihan Kepala Daerah (PHPKADA) Bolaang Mongondow Timur (Boltim) di Mahkamah Konstitusi (MK), akan digelar Selasa (9/2) besok. Agenda sidang tersebut adalah mendengarkan jawaban termohon, keterangan pihak terkait, keterangan Bawaslu dan pengesahan alat bukti.
Sebagai pihak terkait dalam sengketa tersebut, pasangan Sam Sachrul Mamonto – Oskar Manoppo (SSM-OPPO), siap memberikan keterangan berkaitan dengan perkara tersebut. “Tentu keterangan yang akan disampaikan adalah berkaitan dengan posisi pihak terkait dalam perkara itu,” kata Fiko Onga, Ketua Tim Strategi dan Data SSM-OPPO, Senin (8/2).
Berkaitan dengan dalil-dalil pemohon yang telah disampaikan pada sidang perdana beberapa waktu lalu, ia berpendapat, bahwa MK tidak berwenang memeriksa, mengadili dan memutus perselisihan penetapan perolehan suara seperti yang didalilkan pemohon.
Alasannya, pertama; Undang-undang Nomor 10 Tahun 2016 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota menjadi undang-undang, adalah sumber dan dasar kewenangan MK dalam memeriksa dan mengadili perkara perselisihan penetapan perolehan suara, sebagaimana diatur dalam Pasal 157 ayat (3) UU 10/2016 yang tegas menyatakan, bahwa; perkara perselisihan penetapan perolehan suara hasil Pemilihan diperiksa dan diadili oleh Mahkamah Konstitusi sampai dibentuknya badan peradilan khusus. Kedua; dalam Pasal 157 ayat 4 UU nomor 10 tahun 2016, ditegaskan; Peserta Pemilihan dapat mengajukan permohonan pembatalan penetapan hasil penghitungan perolehan suara oleh KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota kepada Mahkamah Konstitusi.
Berkaitan dengan itu, permohonan pemohon adalah permohonan pembatalan keputusan Komisi Pemilihan Umum Kabupaten Bolaang Mongondow Timur Nomor: 369/PL.02.6-Kpt/7110/Kab/2020, tentang Penetapan Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Bolaang Mongondow Timur Tahun 2020, tertanggal 17 Desember 2020. Sedangkan dalil permohonan pemohon adalah mengenai persoalan pemilih menggunakan surat keterangan (SUKET) kependudukan pada saat pencoblosan di TPS, adanya pemilih yang masih berusia di bawah usia 17 tahun, adanya pemilih tambahan yang tidak didaftar oleh KPPS pada DPTb ke dalam formulir Model C, adanya penggunaan surat suara cadangan tanpa disertai dengan berita acara penggunaan surat suara cadangan, adanya pemilih yang menggunakan hak pilihnya di TPS yang berada di luar rukun tetangga atau rukun warganya, adanya pemilih yang tidak terdaftar dalam DPT namun menggunakan hak suara pilihnya setelah ketentuan jam pemungutan suara di TPS, serta kotak suara yang menggunakan segel dan kabel ties.
“Dari semua yang didalilkan itu, tidak ada satupun dalil pemohon yang mempersoalkan perselisihan hasil perolehan suara sebagaimana yang telah ditetapkan oleh termohon dalam keputusan Komisi Pemilihan Umum Kabupaten Bolaang Mongondow Timur Nomor: 369/PL.02.6-Kpt/7110/Kab/2020, tentang Penetapan Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Bolaang Mongondow Timur Tahun 2020, tertanggal 17 Desember 2020,” ujarnya.
“Seluruh dalil pemohon justru mempersoalkan dugaan adanya pelanggaran-pelanggaran yang sama sekali tidak masuk dalam kewenangan MK untuk memeriksa, mengadili dan memutuskannya” sambungnya.
Ia mengungkapkan, dalil permohonan tentang pelanggaran yang digambarkan pemohon terjadi dibeberapa tempat, secara keseluruhan adalah kewenangan lembaga/institusi lain yang harus diselesaikan sebelum ke Mahkamah Konstitusi. Jika yang yang dituduhkan itu dilaporkan ke Bawaslu dan Gakumdu, maka katanya bukan kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk memeriksa hal tersebut.
Undang-undang telah mendesain sedemikian rupa pranata penyelesaian sengketa atau perselisihan yang terjadi di luar perselisihan penetapan perolehan suara hasil penghitungan suara. Bahwa Undang-undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota Menjadi Undang-Undang sebagaimana telah diubah yang terakhir dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 (UU Pilkada) secara tegas telah mengatur;
Pelanggaran Kode Etik Penyelenggara Pemilihan oleh Dewan Kehormatan Penyelenggaraan Pemilu (DKPP) sebagaimana telah diatur dalam Pasal 136 sampai dengan Pasal 137.
Dalam hal terjadi pelanggaran administratif diselesaikan oleh KPU pada tingkatan masing-masing sebagaimana diatur dalam Pasal 138 sampai dengan Pasal 141.
Dalam hal terjadi sengketa antar peserta pemilihan diselesaikan melalui panitia pengawas pemilihan disetiap tingkatan sebagaimana diatur dalam Pasal 142 sampai dengan Pasal 144.
Dalam hal terjadi sengketa penetapan calon pasangan, mekanisme penyelesaiannya melalui Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN) Pasal 153 sampai dengan Pasal 155.
Pelanggaran administrasi berkategori terstruktur, sistematis dan massif (TSM) diselesaikan oleh Bawaslu Provinsi, Pasal 135A ayat (1) jo. Pasal 135 ayat (10);
Dalam hal terdapat tindak pidana dalam pemilihan diselesaikan oleh lembaga penegak hukum melalui sentra Gakkumdu, yaitu Kepolisian, Kejaksaan dan Pengadilan, Pasal 145 sampai dengan Pasal 152.
Untuk perselisihan penetapan perolehan suara hasil penghitungan suara diperiksa dan diadili oleh Mahkamah Konstitusi, sebagaimana diatur dalam Pasal 157.
Untuk memahami dasar dan sumber kewenangan Mahkamah a quo diperlukan pemaknaan dalam kerangka hukum yang tepat. Ketentuan Pasal 157 ayat (3) UU 8/2015 menurut Mahkamah haruslah dimaknai dan dipahami ke dalam dua hal. Pertama, kewenangan Mahkamah a quo merupakan kewenangan yang bersifat non-permanen dan transisional sampai dengan dibentuknya badan peradilan khusus. Dalam Pasal 157 ayat (1) dinyatakan, Perkara perselisihan hasil Pemilihan diperiksa dan diadili oleh badan peradilan khusus. Pada ayat 2 dinyatakan, Badan peradilan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dibentuk sebelum pelaksanaan pemilihan serentak nasional”. Pada ayat 3 dinyatakan, perkara perselisihan penetapan perolehan suara hasil Pemilihan diperiksa dan diadili oleh Mahkamah Konstitusi sampai dibentuknya badan peradilan khusus. Jika badan peradilan khusus nantinya resmi dibentuk, seketika itu pula kewenagan Mahkamah a quo harus ditanggalkan. Kedua, kewenangan memeriksa dan mengadili perkara perselisihan penetapan perolehan suara hasil pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota merupakan kewenangan tambahan.
Dikatakan sebagai kewenangan tambahan karena menurut Pasal 24C ayat 1 UUD 1945, Mahkamah berwenang, menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenagannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, memutus perselisihan tentang hastl pemllihan umum, dan wajib memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut Undang-Undang Dasar.
Dengan perkataan lain, kewenangan konstitusional Mahkamah secara limitatif telah ditentukan dalam Pasal 24C ayat 1 UUD 1945. Sebagai kewenangan tambahan maka kewenangan yang diberikan oleh UU Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota untuk memutus perkara perselisihan penetapan perolehan suara hasil pemilihan gubernur, bupati, dan walikota jelas memiliki kualifikasi yang berbeda dengan kewenangan yang diberikan secara langsung oleh UUD 1945. Salah satu perbedaan yang telah nyata adalah sifat sementara yang dlberikan Pasal 157 UU 8/2015. berdasarkan pemaknaan dalam kerangka hukum di atas, dalam melaksanakan kewenangan tambahan tersebut, Mahkamah harus tunduk sepenuhnya pada ketentuan UU Pilkada sebagai sumber dan dasar kewenangan a quo.
Dalam hal ini, Mahkamah merupakan institusi negara yang berkewajiban untuk melaksanakan UU Pilkada, Mahkamah secara konsisten harus menaati dan melaksanakannya. Dengan perkataan lain, berkenaan dengan ketentuan Pemohon dalam mengajukan permohonan dalam perkara a quo, ketentuan Pasal 157 UU 10/2016 dan Pasal 2 PMK 6/2020 tidaklah dapat disimpangi atau dikesampingkan. Perlu digarisbawahi, bahwa penyelesaian sengketa atau perselisihan yang terjadi di luar perselisihan penetapan perolehan suara hasil penghitungan suara.
UU Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota telah menggariskan, lembaga mana menyelesaikan persoalan atau pelanggaran apa. Pelanggaran admnistratlf diselesaikan oleh Komisi Pemilihan Umum pada tingkatan masing-masing Sengketa antar peserta pemilihan diselesaikan melalui panitia pengawas pemilihan di setiap tingkatan. Sengketa penetapan calon pasangan melalui peradilan tata usaha negara (PTUN). Tindak pidana dalam permilihan diselesaikan oleh lembaga penegak hukum melalui sentra Gakkumdu, yaitu Kepolisian, Kejaksaan, dan Pengadilan; Untuk perselisihan penetapan perolehan suara hasil penghitungan suara diperiksa dan diadili oleh Mahkamah.
Dengan demikian, pembentuk Undang-Undang membangun budaya hukum dan politik agar sengketa atau perselisihan di luar perselisihan penetapan perolehan şuara hasil penghitungan suara diselesaikan terlebih dahulu oleh lembaga yang berwenang pada masing-masing tingkatan melalui pranata yang disediakan. Artinya, perselisihan yang dibawa ke Mahkamah untuk dıperiksa dan diadili betul-betul merupakan perselisihan yang menyangkut penetapan hasil penghitungan perolehan suara, bukan sengketa atau perselisihan lain yang telah ditentukan menjadi kewenangan lembaga lain.
“Dasar-dasar pemikiran terkait hal-hal sebagaimana diuraikan di atas, serta memperhatikan dalil permohonan pemohon yang seluruhnya mempersoalkan dugaan pelanggaran yang menjadi yurisdiksi tembaga lain, dan sama sekali tidak ada satupun dalil yang secara spesifik mempersoalkan perselisihan penetapan perolehan suara hasil Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Bolaang Mongondow Timur Tahun 2020, maka Mahkamah tidak memiliki kewenangan untuk memeriksa, mengadili, serta memutus permohonan Pemohon in litis,” jelasnya. (rmb)